Jumat, 01 Agustus 2014

Lulus madrasah tsanawiyah lalu melanjutkan di madrasah aliyah adalah keputusan besar dalam hidupku, hidup nakal sewaktu di MTs harus aku ubah dan menatap ke depan.


Kenangan SMP

Seminggu sebelum Ujian Nasional SMP, aku sempat di tendang (kick) sama guru yang terkenal paling galak di sekolahku, tetapi sekarang menjadi yang paling aku sayang. Beliau Bpk Umar, alumnus Universitas Indonesia dan Perth Australia sudah cukup membuktikan seberapa canggih keilmuan beliau. Selain terkenal pemarah, beliau memiliki perawakan yang tidak cukup besar, tetapi memiliki tubuh yang kuat dan sigap, tidak heran semua murid sangat takut dengan beliau.
Rabu siang, ketika saat jam istirahat aku memang suka berkumpul dengan anak-anak, tetapi kali ini kami semua berkumpul di depan kelas ku. Kebetulan, samping kelas aku itu kantor kepala sekolah, ya cuma di tengah nya ada tangga untuk ke lantai dua. Sekitar satu meter dari mulut pintu kelas ada tempat untuk duduk, dan itu membentang dari depan kantor kepala sekolah hingga depan kelas 2 Aliyah yang berjarak 3 kelas dari kelasku. Ketika aku sedang asik mengobrol dengan teman-teman di depan kelas, beliau (pak umar) dengan jalannya yang tegap keluar dari kantor kepala sekolah, dengan menggunakan celana pendek yang hanya sampai mata kaki, yang merupakan ciri khas beliau. Beliau terlihat berjalan menuju kearah kami berkumpul. Aku yang sedang duduk melihat beliau tidak sempat memerhatikan teman-temanku yang ternyata hampir semuanya lari masuk kelas. Karena mereka semua berfikiran pasti akan disuruh oleh beliau, karena itu mereka semua masuk kedalam kelas. Saat aku melihat kesamping, hanya ada aku dan salah seorang teman laki-laki ku yang kini hanya tersisa kami berdua di depan kelas.
 “Panggil Bu Dina diatas!” ucap Pak Umar, yang sebenarnya tertuju mengarah kepadaku.
Kami berdua berjalan menuju lantai dua, tetapi belum jauh perjalanan,Pak Umar mengisyaratkan agar hanya satu orang saja yang memanggil Bu Dina diatas, mendengar itu aku langsung berbalik arah dan kembali ke kelas. Ketika hampir sampai di depan kelas aku sempat bingung, aku melihat Pak Umar dengan jalan yang cukup cepat menghampiri ke arahku, pada saat ingin berpapasan, beliau naik keatas tempat duduk yang berada di depan kelas dan “kiiiiiick” sebuah tendangan mendarat lurus di pinggang ku. Yang membuatku tambah malu adalah pada saat itu juga murid kelas 3 Aliyah sedang keluar semua untuk pulang, karena mereka hanya ada kegiatan pengayaan materi pembelajaran untuk UN yang membuat mereka pulang lebih cepat. So mereka semua melirik ke arahku dan Pak Umar dengan wajah yang penasaran.
“Kurang ajar kamu ya!!!”  bentak Pak Umar sembari memelintir kuping kanan ku.
“Ikut Bapak ke kantor!”
“Iya pak,” jawabku enteng.

<><><> 
Tembok Besar

Hari ini adalah hari pertama aku masuk di Aliyah, di hari ini juga aku harus menentukan ekstrakurikuler apa yang akan aku pilih. Pagi ini semua anak tahun ajaran baru berkumpul ditengah lapangan, tempat yang menjadi pusat kegiatan seperti apel atau semacamnya. Tembok-tembok bangunan berwarna hijau yang besar dan pohon-pohon yang berbaris rapi di depannya adalah pemandangan yang terlihat dari lapangan. Seluruh warna bangunan di sekolahku berwarna hijau, karena sekolah ini identik dengan warna hijaunya. Begitu juga dengan batik hijau yang saat ini aku kenakan. Di baju batikku terdapat gambar bunga yang memiliki filosofinya tersendiri. Kepala sekolah pernah bilang bahwa bagian bunga bagian tengah yang berbentuk seperti lingkaran adalah sekolah ku, sedangkan bagian bunga lainnya yang memanjang dari tengah adalah para murid yang datang dari berbagai daerah.
Aku duduk diantara teman-teman ku semasa MTs yang melanjutkan sekolahnya di Aliyah. Kami semua sangat sibuk dengan pendapatnya masing-masing mengenai ekstrakurikuler.
“Kita masuk marching aja yuk, gimana?,” ucap Muhammad Shahril, salah seorang teman MTs ku. Shahril termasuk anak yang paling pintar di angkatanku dan selalu ikut bila ada olimpiade matematika.
“Wah boleh tuh, ” sahut Ali, anak dari kepala sekolah Aliyah. Dengan memakai topi berwarna hitam di kepalanya, ia tidak duduk seperti yang lainnya, melainkan hanya duduk jongkok dan sesekali memutar topinya bila terik matahari kembali mengenainya.
            Akhirnya aku dan beberapa teman aku mendaftarkan diri di ekstrakurikuler marching band, dan ini adalah pengalaman baru bagi kami semua.
Keesokan nya aku menjalani hari-hari sebagai siswa Madrasah Aliyah Al-Ikhlas, di samping itu juga pemilihan ketua osis dan susunan anggota baru akan diadakan di sekolahku.
“Teeeeeeeeeeeeeettt” Bel istirahat untuk Aliyah berbunyi.
Semua anak-anak keluar kelas, dari yang jajan hingga hanya mejeng juga ada, tapi beda hal sama diriku. Aku lagi tertarik dengan buku kecil punya temanku yang baru saja aku pinjam untuk dibaca. Di buku itu setiap tulisannya berbahasa Arab, itu yang buat aku penasaran untuk membacanya.
Pada saat itu juga pintu kelas lagi tidak ditutup. Pintu yang hampir semuanya kaca pasti mudah bila melihat kedalam kelas bila ditutup juga.
“Lagi baca apa ki?” Tanya Pak Umar yang melihat aku dari luar sambil masuk kedalam kelas.
“Ini Pak buku punya Shahril, ” jawabku.
“Bahasa Arab semua nih tulisannya” timpal lagi Pak Umar.
Dari hari itu juga hubungan aku dengan Pak Umar mulai membuka periode baru, yaitu aku bisa dekat dengan beliau dan bukan jamannya lagi aku dipukul, dijewer, disuruh push up berkali-kali bahkan di tendang. Kini masa itu sudah berubah, aku yang sekarang adalah aku yang mencoba menghilangkan segala kelakuan buruk aku sewaktu di MTs.

<><><> 
Hari pertama latihan tentu buat aku bingung harus memegang alat yang mana, kebetulan ada bas yang nganggur, ya itu alat pertama yang aku jajal pas latihan perdana di ekskul marching.
            Sekolah aku juga punya lahan yang cukup luas karena dari jenjang TK sampai SMA (Aliyah) dan Ponpes juga ada disini, jadi tidak perlu bingung untuk mencari tempat latihan, karena pasti ada tempat.
            Di saat latihan perdana di ekskul marching ada beberapa kakak senior yang mengawas jalannya latihan, salah satunya Ka Dwi. cantik, manis tapi lumayan galak kalo lagi saat serius. Tidak begitu dengan yang satunya, dia tampak sangat bersahabat dengan adik kelas yang lain, salah seorang kakak kelas yang aku masih belum tau siapa namanya. Mungkin akan ada hari dimana aku bisa mengenalnya.
            Kenal dengan banyak kakak kelas punya keuntungan tersendiri bagiku , bisa terpilih sebagai anggota osis adalah langkah awal bagi aku untuk memperbaiki terus kehidupanku. Semua anggota dan ketua osis periode yang baru dikumpulkan di dalam satu kelas.  Entah keberuntungan atau apa, diantara sekian siswa dan siswi yang aku lihat, aku melihat seseorang yang rasanya tidak asing lagi di penglihatanku. Ya dia kakak kelas dan teman satu tim di marching.
<><><> 

Hampir sebulan aku berada di tim marching, di latihan sore hari ini ada sesuatu yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Ada satu orang yang jadi pusat perhatian aku selama latihan, dia kakak kelas. Pemain mayoret di tim inti marching di sekolah. Awalnya aku kira dia kelas tiga Aliyah, dua tingkat diatas ku. Kabar baiknya dia masih kelas dua Aliyah, hanya terpaut satu tingkat. Semakin lama aku juga semakin akrab dengan seluruh personel di ekskul marching. Belum genap sebulan aku dan beberapa teman akhirnya masuk tim inti, hanya saja kali ini aku di senar bukan bas yang sudah aku pelajari dari awal.
            Hari demi hari aku mulai dekat dengan kakak kelas tersebut. Namanya Vika Ariani Armelia, anaknya mungil dan mudah bergaul juga. Satu hal yang membuat aku tertarik adalah dia mempunyai aura yang tidak dimiliki oleh yang lain. Setelah latihan usai, aku beristirahat di dalam kelas yang sudah tidak ada kegiatan mengajar lagi. Di saat aku tengah duduk, Kak Vika datang ke arahku dengan mata yang tersenyum. Dan ikut beristirahat tidak jauh dari tempat ku duduk. Akhirnya kami duduk berseberangan.
“Kakak mondok ya?” aku mulai membuka pembicaraan.
“Iya mondok emang kenapa Rizky??” jawabnya sambil penasaran.
“Enggak kenapa-kenapa kak, nanya aja,” dengan perasaan yang sedikit malu dan sambil menggarukan kepala.
“Yahh kirain ada apa, kenapa kamu penasaran ya?”
“Lah enggak sama sekali..,” aku berusaha menyembunyikan perasaan malu ku dengan menjawabnya sambil tertawa.
Di sore itu aku semakin yakin dengan perasaanku, di tambah sejak putus dengan pacarku dari kelas dua MTs aku sudah vakum di dunia percintaan.
<><><> 

“Teeeeeeeeeettt…., “
“Aaaaahhh akhirnya istirahat juga” gumam salah seorang teman laki-laki ku.
Dengan kompak aku dan hampir semua anak laki-laki keluar kelas, tapi bukan hanya keluar kelas, keluar lingkungan sekolah juga. Sekolah yang terletak diantara banyak rumah penduduk jadi hal yang mudah bagi murid-murid yang akan keluar lingkungan yayasan, yang penting sudah kenal akrab dengan satpam penjaga gerbang di depan yayasan itu sudah cukup.
Seperti biasa aku dan anak-anak pergi ke warung makan yang letaknya cukup jauh dari sekolah, tidak jarang juga aku terlambat kembali ke kelas. Disana dari yang masih MTs kelas satu hingga Aliyah kelas tiga semua ada, tujuannya satu yaitu ngerokok.
“Wooi ada yang mau nitip beli rokok nggak?” Tanya salah seorang adik kelas ku,
“Yaudah beli nih sebungkus ” jawab temanku,
Kami semua memang terkadang juga suka patungan untuk membeli sebatang rokok, nongkrong dengan banyak teman dan menghisap rokok sambil minum kopi jadi kegiatan rutin sewaktu di MTs sampai aku di Aliyah, Tapi semua itu berubah pada saat hidupku terisi dengan kakak kelas itu.
<><><> 


Songket merah

Hari yang aku tunggu-tunggu akhirnya tiba juga, nomor handphone salah seorang kakak kelas sudah ada di tangan. Itu semua aku dapat ketika meminta nomor handphone nya ke salah satu teman kakak kelas perempuan, tidak sulit karena aku sudah akrab dengannya.  Kamis sore tim marching kami mendapat kabar yang cukup menggembirakan, mengapa tidak, kami diundang untuk tampil di sebuah acara dengan imbalan yang tidak sedikit juga.
“Kita hanya mempunyai waktu semingggu, jadi setiap sore kita harus latihan!” ucap Kak Mahmud, salah seorang alumni sekolah kami, dia memang sudah lama lulus, tapi kecintaannya pada sekolah membuat dia mengabdi di sekolah kami sembari mengajar pramuka, futsal, dan juga marching.
Di sore itu juga porsi latihan jadi lebih berat. Kami semua harus tetap latihan meski kegiatan sekolah telah usai. Tetapi ini menjadi moment yang sangat jarang kami dapat, kami semua bisa lebih mengenal satu sama lain, ditambah lagi kami semua memang baru sama-sama saling mengenal.  
“Rizky, kakak pinjam hp nya dong,” ucap Kak Vika,
“Ouh emang buat apa kak?” jawabku,
“Buat ngehubungin mamah dirumah,” jawabnya memelas,
“Yaudah tapi jangan kelamaan,” Jawabku, tapi dengan nada galak yang aku buat-buat.
            Di setiap sore saat aku latihan, mengobrol dengan Kak Vika menjadi kebiasaan yang mulai aku jalani. Awalnya masih kaku tapi semakin hari kami berdua semakin akrab, bahkan dia sudah mulai memanggil aku dengan sebutan ade. Bulan puasa juga sudah tinggal beberapa bulan lagi, ini cukup baik karena dengan begitu aku bisa kontekan terus dengan Kak Vika berhubung anak pondok pesantren pulang kerumah, walaupun hanya beberapa hari.
            Hari yang ditunggu-tunggu anak marching akhirnya tiba, aku dan anak-anak tim inti harus datang pagi-pagi demi mengejar waktu untuk persiapan dan prepare lainnnya. Langit masih gelap, tetapi aku sudah pergi ke warung untuk membeli dua bungkus nasi uduk. Yang satu untuk bapak dan satunya lagi aku. Setelah selesai sarapan aku pamit dan berangkat menuju sekolah. Letak sekolah yang cukup jauh memang menjadi salah satu kendala, ditambah aku hanya berjalan kaki untuk kesekolah. Tetapi aku sangat menikmati setiap tempat yang aku lewati saat kesekolah. Ada sebuah pohon besar dipinggir jalan yang selalu aku lalui saat kesekolah, kali ini ada yang berbeda dari sebelumnya, pohon besar itu berbunga dengan warna merah cerah. Ditambah lagi letak jalan itu berada persis disamping sungai. Ada sebuah sungai besar yang aku lalui sebelum kesekolah, dikedua sisi sungai tersebut terdapat jalan yang biasa dilalui sepeda motor dan pejalan kaki. Tetapi akhir-akhir ini sering ada mobil dan angkutan umum yang lewat, karena macet dijalan utama yang menyebabkan mereka harus melalui jalan alternatif. Setelah melakukan perjalanan kurang lebih dua puluh menit akhirnya aku tiba di sekolah. Gerbang utama masih ditutup rapat. Karena ini merupakan hari minggu jadi tidak ada kegiatan belajar mengajar pada hari ini. Dari kejauhan beberapa anak terlihat di depan kelas, akupun mulai mendatangi mereka.
“Kesini kita pake songket,!” teriak Kak Fera salah seorang pemain mayoret,
“HHhhhhhhhh” Ali yang masih menguap di depan kelas masih mengeluhkan paginya waktu persiapan.
Aku mulai mengenakan kain songket kebesaran tim marching sekolah kami, tampil dengan penampilan yang sebaik mungkin sudah barang tentu harus dilakukan oleh semua anak. Saat itu juga aku melihat seorang perempuan yang sedang sibuk dengan jarum pentolnya, ya dia Kak Vika. Semua sibuk dengan penampilan nya masing-masing.
“Gimana mobilnya udah datang belum?” suara Pak Karmin, seorang guru TU yang kali ini mengetuai tim marching.
“Masih belum pak, tapi jangan sampai terlalu siang juga datang nya,” jawab Kak Mahmud yang juga sudah siap dengan kain songketnya.
Tidak lama berselang mobilpun datang, yang pertama ialah mobil untuk mengangkut alat-alat marching kami. Kami semua menaikkan alat-alat yang akan dipakai untuk acara marching nantinya. Mobil selanjutnya tiba di sekolah, jam sudah menunjukkan pukul 07.02 wib, kami harus lebih cepat lagi tiba di acara yang dimulai jam delapan pagi.
“Semua anak sudah masuk?” Tanya Pak Karmin dari luar mobil,
“Udah semua kok pak,” jawab anak-anak serempak.
Tampil perdana di depan banyak orang jadi satu hal yang buat aku sempat grogi, tapi untunglah perasaan itu hanya ada ketika aku sedang di mobil. Semua anak-anak turun dari mobil dan langsung mengambil alatnya  masing-masing, tidak ada ketegangan sedikitpun di semua raut wajah mereka. Yang ada hanya keceriaan dan rasa bahagia bisa tampil bukan hanya untuk sekolah, tapi untuk institusi lain yang membutuhkan. Hari ini adalah peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, yang diadakan oleh salah satu DKM Masjid dan Yayasan sekolah. Pagi itu semuanya berjalan lancar, rasa letih dan lelah sudah pasti kami semua rasakan. Aku,Syatibi dan teman-teman yang lain duduk di tempat acara, melihat acara-acara selanjutnya yang akan ditampilkan.
 “Ayo semua kesini, kita makan” teriak Shahril dari depan rumah ketua DKM dengan beberapa nasi bungkus di tangannya.
“Sisain aku satu din..!” jawab Ali yang juga ada di dekat aku.
“Ayo-ayo kita makaan..!” teriakan Kak Mahmud yang membuat semua anak langsung bersemangat mengambil nasi bungkusnya masing-masing. Jam sudah menunjukkan pukul dua siang, saatnya kami semua kembali ke sekolah dan pulang kerumah. Sebuah pengalaman hidup baru yang kan aku jalani kedepannya.
<><><> 

Secarik kertas
Dua minggu setelah tampil di acara Maulid Nabi, kondisi fisikku juga mulai menurun. Akibatnya, aku tidak masuk sekolah sehari. Karena takut ketinggalan pelajaran, keesokannya aku mulai masuk meski dalam kondisi yang masih belum terlalu fit.
“Rizky ini ada surat ,” sontak aku mulai kaget ,
“Dari siapa ndah?” Tanya aku pada endah, teman perempuan satu kelas yang juga anak pesantren.
“Udah dibaca aja dulu, entar juga tau..” jawabnya dengan nada yang mulai meledek.
Seumur hidup baru kali ini ada yang ngirim surat, di jaman yang sudah ada handphone kenapa harus kirim surat, pikir aku dalam hati. Kertas yang ukurannya tidak terlalu besar itu mulai aku buka dengan perasaan yang semakin penasaran.  


Kamu kenapa kemarin enggak masuk? Kamu lagi sakit?
Oh iya, aku boleh pinjam hp kamu sebentar nggak?
Aku mau tlp mamah, nanti istirahat kedua aku kembaliin lagi
Vika Ariani

<><><> 
Meletusnya gunung Merapi di Jogjakarta, membuat banyak kerusakan dan kerugian baik secara material maupun non material. Kejadian itu membuat banyak relawan berdatangan untuk membantu warga sekitar yang terkena musibah.
Seluruh anggota osis melakukan aksi sumbangan dana peduli merapi yang dilaksanakan setiap selesai kegiatan sekolah. Sekolah kami pulang jam 14.45 WIB, setelah semua selesai shalat ashar, saatnya kami semua berkumpul dilapangan untuk mendengarkan arahan dari kepala sekolah kami.
Setiap anak dibuat kelompok, satu kelompok terdiri dari 7 siswa, masing-masing dari kalian membawa satu kardus untuk meminta sumbangan kepada warga, buat proposal dan minta ijin ke pemda!” perintah kepala sekolah kepada seluruh anggota osis di sore itu. Esok nya setelah semua kegiatan pembelajaran usai, kami melakukan rapat persiapan untuk memulai kegiatan amal ini. Di dalam ruang rapat tampak seorang kakak kelas laki-laki yang sedang meledek kepada Kak Vika,
”Haha,, lu cemburu ya ki?” Tanya Syatibi yang sedang duduk sebangku denganku di ruang rapat, sambil ketawa dia terus meledek diriku dengan kata itu.
“Aaahh diem lu bi, dia juga bukan siapa-siapa gua,” jawabku, walupun aku sendiri masih penasaran apa Kak Vika punya seorang pacar tau tidak.
            Hari penggalangan danapun akhirnya dimulai,semua partisipan dikumpulkan dilapangan dan diberi kotak kardusnya masing-masing, disetiap kardus diberikan tulisan “Peduli Merapi” di bagian depan.  sore ini aku dan beberapa teman akan meminta sumbangan di sekitar perumahan depsos, ada sekitar 7 anak yang terdiri dari 3 siswa dan 4 siswi. Diantara keempat siswi tersebut, ada satu orang yang jadi perhatianku. Dia adalah Kak Pasiha Al Fana, yang merupakan sahabat dan teman satu kelasnya Kak Vika. Pada saat ini hubungan ku dengan Kak Vika memang hanya sebatas kakak dan adik kelas, disamping aku selalu di panggil “adik” olehnya. Tapi dalam benakku, aku tidak ingin hanya sekedar adik. Ada harapan besar yang aku inginkan darinya.
            Untuk menuju perumahan tersebut, kami semua berjalan kaki kurang lebih 2,5 km dengan melewati jalan raya dan pesawahan, di perjalanan kami dapat bercanda satu sama lain. Saat tiba di pesawahan semua menjadi sangat sejuk, semilir angin yang tidak terlalu kencang dan hijaunya padi yang bergoyang karena tertiup angin menjadi suatu pemandangan yang kami nikmati saat ini. Di tambah lagi udara di sore hari yang secara tidak sadar membuat keletihan diantara kami pun menghilang.
            Setelah beberapa menit diperjalanan, akhirnya kami tiba diperumahan tersebut. Semua sudah tidak sama lagi dengan yang kami rasakan saat di pesawahan. Ramai nya para penduduk dan hiruk pikuk perumahan harus kami hadapi sore ini.
            “Gimana nih kita mencar berapa-berapa?” Tanya Rifani yang merupakan teman satu seksi di osis dan juga satu kelompok di penggalangan dana.
            “Yaudah kita mencar semua aja, setiap gang satu orang, nanti kita kumpul di ujung perumahan gimana?” celoteh Kak Windi.
            “Ya boleh juga kalo gitu, yaudah kita mulai mencar dari sekarang,” timpal Rifani dengan membawa kotak kardus di tangannya.
            Setelah percakapan Rifani dengan Kak Windi, kami semua berpencar dan mendatangi setiap rumah, warung, toko-toko dan setiap orang yang kami jumpai. Belum terlalu jauh berjalan kaki, aku melihat ada sebuah warung dideretan rumah-rumah, dan warung itu terletak di depan muka gang.        
“Permisi bu….sumbangannya untuk merapi..” ucapku dengan nada yang ku buat selembut mungkin.
“Ouh iya tunggu sebentar ya dek,” jawab ibu itu sambil masuk kedalam rumah untuk mengambilkan uang sumbangannya,
“Ini dek…” sambil senyum ibu itu menaruhkan uang nya di kardus yang kubawa.
“Terima kasih ya bu..” jawabku dengan membalas senyum nya.
Saat matahari sudah hampir terbenam, dan tubuh kami semua sudah terasa sangat lelah. Anak-anak berkumpul di ujung perumahan seperti yang sudah di janjikan sebelumnya. Kami semua menggabungkan uang yang kami dapat dari hasil masing-masing dan selanjutnya dibawa ke sekolah untuk disetorkan kepada yang bertugas sebagai bendahara acara. Sebelum kembali kesekolah kami semua memutuskan untuk membeli air mineral terlebih dahulu, semuanya terduduk lemas di depan toko yang kami datangi, keringat yang mengucur dan keletihan yang ada di kami semua kini berubah menjadi keceriaan tersendiri bagi teman-teman. Kami dapat tertawa bersama dan menceritakan pengalaman baru nya masing-masing pada saat mencari sumbangan. Ada saja cerita lucu yang mereka dapat di sore ini. Aku dengan pengalaman yang terbilang cukup baru, tentu merasa cukup bangga bisa membantu saudara kami yang sedang terkena musibah  disana.
Setelah beristirahat, kami melanjutkan perjalanan kembali menuju sekolah, saat tiba di pesawahan, terbenamnya matahari di ufuk barat kini menjadi pemandangan indah yang tersaji di hadapan kami.
<><><> 
            Hari ini, ada sesuatu yang membuat aku tidak bisa ikut penggalangan dana. Ketika saat bermain futsal di jam istirahat, kaki kiri ku terpelintir dan membengkak. Akhirnya aku tidak ikut rombongan anak-anak. Karena kaki ku yang tidak memungkinkan untuk banyak berjalan, aku hanya berdiam disekolah menunggu semua kelompok kembali ke sekolah, disekolah aku tidak sendirian, karena memang ada yang bertugas untuk tetap di sekolah. Sembari sesekali memantau setiap kelompok di daerah yang mereka datangi masing-masing.
“Ki, kita bawa minuman buat anak-anak yuk?” Tanya Kak Rama kepadaku yang sedang duduk di koridor sekolah dan tidak jauh dari tempar parkir motor.
“Wah..boleh kita kemana?” Tanya ku, dan berharap semoga bisa ke salah satu kelompok Kak Vika.
“Kita ke anak-anak kelompok enam yang berangkat ke Kali Jeruk,” jawab rama sambil mulai menyalakan mesin motornya dengan membawa satu dus air mineral.
“Yaudah deh aku ikut,”
Aku dan Kak Rama pergi menuju kampung Kali Jeruk yang letaknya jauh dari sekolah, hari ini berbeda dengan hari-hari penggalangan dana sebelumnya, karena desa dan perumahan di dekat sekolah sudah di datangi semua. Maka hari ini anak-anak ditugaskan untuk pergi ke daerah yang letaknya cukup jauh dari sekolah.
            Harapan yang hanya ada di benak kini menjadi kenyataan, kelompok yang didatangi oleh aku dan Kak Rama adalah kelompok Kak Vika. Sesampainya di Kali Jeruk, aku tidak langsung bertemu dengan Kak Vika, kepalaku berputar ke kanan dan ke kiri hanya untuk mencari seseorang yang aku cari. Begitu juga dengan Kak Rama, kelompok enam yang dicari ternyata masih belum sampai di Kali Jeruk. Dengan memberhentikan motor di pinggir jalan kami berdua sibuk memperhatikan angkutan umum yang turun tidak jauh dari posisi kami berada. Selang beberapa menit, sekumpulan anak sekolah dengan menggunakan baju batik berwarna hijau gelap turun dari angkutan umum di seberang jalan. Benar dugaan kami berdua bahwa mereka pasti masih di perjalanan.
 
Satu minggu berselang, kegiatan penggalangan dana akhirnya selesai. Saat nya menyalurkan dana yang sudah terkumpul kepada korban bencana, kami semua merasa sangat senang dengan apa yang telah kami lakukan selama sepekan lalu, dan hal itu juga yang aku rasakan.

<><><> 
Hari-hari berikutnya aku mendapat sms dari Kak Vika, entah ia tahu dari mana nomor handphone ku, tapi yang jelas aku sudah tahu kalau nomor yang mengirim pesan itu adalah Kak Vika, karena aku lebih dulu mendapat nomornya. Aku berjalan menuju ke ruang tamu. Lalu duduk sambil menyandarkan kepalaku, aku menghela nafas dengan sesekali kulirikan mataku kearah handphone yang sedang ku pegang, tidak perlu menunggu waktu lama akupun menekan tombol panggilan untuk menelpon Kak Vika. Cukup lama sebelum akhirnya telfon ku diangkat olehnya,saat di telfon aku seperti sudah benar-benar akrab dengannya. Sampai akhirnya tiba dimana aku menanyakan langsung kepadanya tentang status nya. Aku tersenyum lebar saat dia mengutarakan bahwa dia masih belum punya pacar untuk saat ini. Suaranya yang memang sedikit bawel membuat kami berdua tidak bosan-bosanya mengobrol di telfon.
           

<><><> 
Aku sangat menikmati dimana aku bisa tertawa dengan semua anggota keluarga di malam hari. Kami semua sedang menyaksikan pertandingan AFF Suzuki Cup antara Indonesia dengan Filiphina. Tampak jelas ayahku sangat menikmati jalannya pertandingan, bahkan cemilan yang sedang di makannya langsung habis begitu saja. Ibuku juga tidak mau kalah serunya dengan yang lain, bila ada peluang yang gagal, ia tidak segan-segan mengeluarkan suara kencangnya untuk berteriak.
“Christian Gonzales membawa bola.., tendangan dari Christian Gonzales daaaan gooooool…!!!” teriak salah seorang komentator bola dengan girangnya.
“Hoooooreeeee….,” mendadak rumah yang hanya berisikan enam orang termasuk nenek dan kedua adik laki-laki ku menjadi seperti Gelora Bung Karno yang dimana bunyi gemuruh bisa terdengar dimana-dimana.
            Saat semua anggota keluarga sedang bergembira dengan kemenangan timnas Indonesia, handphone ku bergetar yang ternyata pesan dari Kak Vika, aku menoleh kearah jam dinding di ruang tv dan kembali melihat kearah pesan tersebut, aku menarik nafas saat aku sadar bahwa pesan di handphone ku sudah dari setengah jam yang lalu, aku memang tidak terlalu memperhatikan handphone ku saat sedang menonoton tadi. Dahiku mengkerut saat aku mulai membaca isi pesannya, rupanya aku diminta untuk membelikannya kabel rolan untuk kamar pondoknya. Karena kabel yang ada sedang rusak dan ia tidak mungkin bisa keluar pondok di malam hari tanpa izin yang jelas. Dengan terburu-buru aku menyiapkan motor untuk pergi membeli kabel rolan. Setibanya ditempat penjual elektronik, aku sempat bingung kabel rolan seperti apa yang dibutuhkannya, karena ada berbagai macam jenis kabel rolan ditempat itu. Aku mengirim sms ke Kak Vika untuk menanyakan nya dan untunglah ia masih sempat membalasnya. Setelah kabel rolan telah terbeli aku menuju ke sekolah meskipun dengan perasaan yang cemas dan ragu, aku harus bilang seperti apa bila aku ketahuan masuk ke pondok putri malam-malam seperti ini. Pikiran itu terus terbayang di dalam otakku selama aku mengendarai motor menuju sekolah. Dinginnya udara malam membuat perasaan itu semakin menjadi-jadi dalam benakku.
            Bangunan besar itu terlihat cukup gelap dengan hanya ada beberapa lampu yang meneranginya, aku telah sampai di depan gerbang sekolah. Dengan perlahan aku mengambil handphone ku di saku dan menekan tombol panggilan untuk mengabari Kak Vika bahwa aku telah sampai. Lima belas menit sudah aku berdiri di depan gerbang sekolah dengan tangan yang terus mengarahkan ponselku ke telinga dan telfon ku tidak juga diangkat olehnya. Perasaan cemas itu kini berbaur dengan rasa kesal ku olehnya, aku menelfon beberapa nomor temannya dan tidak juga ada yang mengangkat, sampai akhirnya aku bertemu dengan satpam sekolah yang sedang berjaga malam. Untung saja aku sudah akrab dengannya, jadi aku merasa cukup lega.
“Bisa tolong kasihin ini mang ke anak pondok putri, Vika ” ucapku sambil tersenyum untuk menutupi rasa takutku karena telah ketahuan.
“Ouh, yaudah..,” jawabnya dengan muka datar yang membuat rasa cemasku kembali muncul.
Aku langsung kembali ketempat dimana motorku diparkir dan



Maaf ya tadi aku lagi di mushala, semua anak putri juga lagi di mushala makanya temanku enggak angkat telfon kamu, terima kasih udah mau bawain.
Awalnya aku masih kesal dengan sikapnya yang tiba-tiba tidak mengangkat telfon, tetapi aku mulai lega saat membaca sms darinya setelah satu jam aku telah kembali dirumah






<><><> 
Banyak yang sudah mengetahui kedekatan aku dengan Kak Vika, tetapi hanya sebatas hubungan kakak dan adik. Disekolah aku jadi sering mendapat surat darinya, terlebih saat aku bolos salah satu mata pelajaran dan lebih memilih ke perpustakaan dengan teman-teman. Kami memang tidak terlalu suka dengan mata pelajaran tersebut ditambah untuk beberapa minggu ini guru yang mengajar hanyalah guru pengganti. Karena guru sebenarnya sedang mengambil cuti setelah baru saja melahirkan. Setengah jam sudah aku dan ketiga teman laki-laki berada diperpustakaan, saatnya kembali ke kelas karena pelajaran yang dihindari telah usai.
“Dari mana aja lu semua? Tadi ibu catat semua anak yang bolos pelajaran,” teriak salah satu teman perempuanku dari dalam kelas. Sedang yang lain tidak terlalu memperdulikan karena sudah hafal betul aku dan teman-temanku seperti apa. Hal seperti itu hanya akan menambah masalah baru bagi mereka.
Aku mulai membuka buku agenda yang berada di meja guru dan benar saja. Nama kami semua tertera di agenda pelajaran hari ini.
“Gua minjem tive x dong?” teriakku kepada semua anak.
“Wah wah mau dihapus ya? jangan, jangan” teriak Anisa dengan berdiri dari tempat duduknya.
“Kok lu yang jadi repot? ” bantahku.
“Salah sendiri bolos pelajaran!” dengan cepat Anisa berlari ke meja guru dan berusaha merebut buku agenda dari tanganku.
Beberapa teman ku mencoba menghalangi Anisa tetapi tidak berhasil, aku yang merasa tidak begitu memperdulikan catatan di agenda itu akhirnya aku berikan agenda itu kepada Anisa, tingkah ku ini membuat Anisa hanya bisa menatap wajahku. Entah apa yang ada di fikiran Anisa tetapi yang pasti tingkahku ini membuatnya menjadi seperti patung yang baru saja selesai dibuat.  
“Rizky ini ada surat, kayaknya Kak Vika tau kamu bolos tadi, ”
Suara itu menghapus lamunanku pada saat istirahat, seperti biasa Indah yang membawakan surat nya, bagaimana Vika bisa tau kalau aku bolos jam pelajaran tadi, pasti ada anak yang memberitahu dan firasat ku mengarah kepada Anisa. Anisa satu-satunya anak yang paling tidak suka dengan aku dan teman-teman tadi pagi, itu semua bisa terlihat dari sikapnya. Aku mulai membaca semua isi suratnya, dan benar saja Vika mengetahui semuanya. Yang jadi pertanyaan dalam fikiranku siapa yang memberitahunya.
            Udara terasa semakin dingin, awan hitam terlihat jelas dilangit bahkan menutupi setiap celah yang ada. Daun-daun kering berterbangan di halaman sekolah, semua anak berlarian menuju kelasnya masing-masing karena angin yang mulai tidak bersahabat. Hujan mulai turun dengan derasnya, genangan air terlihat jelas dilapangan. Kini suasana sekolah yang ramai karena siswa-siswinya berubah menjadi keriuhan suara air diluar. Aku kembali memperhatikan isi surat itu, dan sesekali menatap ke Anisa. Apa mungkin Anisa yang bilang seperti itu, di satu sisi Anisa adalah anak yang tidak terlalu suka ikut campur urusan orang lain, tetapi hanya Anisa yang sewot kepada anak-anak yang bolos.
“Kenapa diliaitin aja Ki suratnya? Di bales lah,” ledek Shahril yang duduk sebangku denganku.
“Iya ada kertas selembar enggak? Buat bales suratnya,”
“Ada nih, di belah dua lagi aja kertasnya biar irit,” ledeknya lagi sambil mengambil kertas dibawah kolong meja.
            Hujan mulai semakin deras, surat balasan untuk Kak Vika juga telah selesai. Walaupun pada saat aku menulis, sempat-sempatnya saja Shahril melirik kearah tulisan ku pada saat membuatnya, yang semakin menambah lama ku menulisnya. Aku menghampiri Indah yang pada saat itu sedang tertidur pulas di bangkunya. Pada saat cuaca seperti ini biasanya para guru malas untuk masuk ke kelas, karena jalan depan kelas pasti basah karena air hujan yang menggenang di luar. Itu yang membuat Indah leluasa untuk tidur di dalam kelas.
“Ndah bangun, ini surat balesan buat Kak Vika.” ucap ku sambil menyodorkan surat kearahnya.
“Alaaah ganggu orang lagi tidur aja, iya entar disampein.” Jawabnya dengan tangan yang terus menutupi wajahnya.



<><><> 
Menikmati pemandangan danau dan udara sore hari yang sejuk, adalah kebiasaan aku dan teman-teman bila hari minggu tiba. Sore harinya kami semua berkumpul di salah satu perumahan yang memiliki danau diujung perumahannya. Tepat disamping danau, terdapat rel kereta api dan di sebelah rel kereta api tersebut, terbentang luas pesawahan, padinya mulai menguning, dan burung-burung berterbangan diatasnya. Anak-anak kecil berlarian di sekitaran danau, para remaja tidak ketinggalan berduaan dengan pasangannya masing-masing. Semua itu dapat terlihat bila minggu sore tiba. Aku dan teman-teman berkumpul disebuah warung tempat biasa kami menongkrong. Di saat berkumpul, salah satu temanku membawa sebuah rokok arab yang biasa disebut sisha, ia membelinya di sebuah daerah yang berada di Jakarta Timur. Yang lainnya membawa kartu remi dan tidak lupa beberapa bungkus rokok.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar