Lulus
madrasah tsanawiyah lalu melanjutkan di madrasah aliyah adalah keputusan besar
dalam hidupku, hidup nakal sewaktu di MTs harus aku ubah dan menatap ke depan.
Kenangan
SMP
Seminggu
sebelum Ujian Nasional SMP, aku sempat di tendang (kick) sama guru yang terkenal paling galak di sekolahku, tetapi
sekarang menjadi yang paling aku sayang. Beliau Bpk Umar, alumnus Universitas
Indonesia dan Perth Australia sudah cukup membuktikan seberapa canggih keilmuan
beliau. Selain terkenal pemarah, beliau memiliki perawakan yang tidak cukup
besar, tetapi memiliki tubuh yang kuat dan sigap, tidak heran semua murid
sangat takut dengan beliau.
Rabu
siang, ketika saat jam istirahat aku memang suka berkumpul dengan anak-anak, tetapi
kali ini kami semua berkumpul di depan kelas ku. Kebetulan, samping kelas aku
itu kantor kepala sekolah, ya cuma di tengah nya ada tangga untuk ke lantai
dua. Sekitar satu meter dari mulut pintu kelas ada tempat untuk duduk, dan itu
membentang dari depan kantor kepala sekolah hingga depan kelas 2 Aliyah yang
berjarak 3 kelas dari kelasku. Ketika aku sedang asik mengobrol dengan
teman-teman di depan kelas, beliau (pak umar)
dengan jalannya yang tegap keluar dari kantor kepala sekolah, dengan
menggunakan celana pendek yang hanya sampai mata kaki, yang merupakan ciri khas
beliau. Beliau terlihat berjalan menuju kearah kami berkumpul. Aku yang sedang
duduk melihat beliau tidak sempat memerhatikan teman-temanku yang ternyata
hampir semuanya lari masuk kelas. Karena mereka semua berfikiran pasti akan
disuruh oleh beliau, karena itu mereka semua masuk kedalam kelas. Saat aku
melihat kesamping, hanya ada aku dan salah seorang teman laki-laki ku yang kini
hanya tersisa kami berdua di depan kelas.
“Panggil Bu Dina diatas!” ucap Pak Umar, yang
sebenarnya tertuju mengarah kepadaku.
Kami berdua berjalan
menuju lantai dua, tetapi belum jauh perjalanan,Pak Umar mengisyaratkan agar
hanya satu orang saja yang memanggil Bu Dina diatas, mendengar itu aku langsung
berbalik arah dan kembali ke kelas. Ketika hampir sampai di depan kelas aku sempat
bingung, aku melihat Pak Umar dengan jalan yang cukup cepat menghampiri ke
arahku, pada saat ingin berpapasan, beliau naik keatas tempat duduk yang berada
di depan kelas dan “kiiiiiick” sebuah
tendangan mendarat lurus di pinggang ku. Yang membuatku tambah malu adalah pada
saat itu juga murid kelas 3 Aliyah sedang keluar semua untuk pulang, karena
mereka hanya ada kegiatan pengayaan materi pembelajaran untuk UN yang membuat
mereka pulang lebih cepat. So mereka
semua melirik ke arahku dan Pak Umar dengan wajah yang penasaran.
“Kurang ajar kamu
ya!!!” bentak Pak Umar sembari
memelintir kuping kanan ku.
“Ikut Bapak ke kantor!”
“Iya pak,” jawabku
enteng.
<><><>
Tembok
Besar
Hari
ini adalah hari pertama aku masuk di Aliyah, di hari ini juga aku harus
menentukan ekstrakurikuler apa yang akan aku pilih. Pagi ini semua anak tahun
ajaran baru berkumpul ditengah lapangan, tempat yang menjadi pusat kegiatan
seperti apel atau semacamnya. Tembok-tembok bangunan berwarna hijau yang besar
dan pohon-pohon yang berbaris rapi di depannya adalah pemandangan yang terlihat
dari lapangan. Seluruh warna bangunan di sekolahku berwarna hijau, karena
sekolah ini identik dengan warna hijaunya. Begitu juga dengan batik hijau yang
saat ini aku kenakan. Di baju batikku terdapat gambar bunga yang memiliki
filosofinya tersendiri. Kepala sekolah pernah bilang bahwa bagian bunga bagian
tengah yang berbentuk seperti lingkaran adalah sekolah ku, sedangkan bagian bunga
lainnya yang memanjang dari tengah adalah para murid yang datang dari berbagai
daerah.
Aku
duduk diantara teman-teman ku semasa MTs yang melanjutkan sekolahnya di Aliyah.
Kami semua sangat sibuk dengan pendapatnya masing-masing mengenai
ekstrakurikuler.
“Kita
masuk marching aja yuk, gimana?,” ucap Muhammad Shahril, salah seorang teman
MTs ku. Shahril termasuk anak yang paling pintar di angkatanku dan selalu ikut
bila ada olimpiade matematika.
“Wah boleh tuh, ” sahut
Ali, anak dari kepala sekolah Aliyah. Dengan memakai topi berwarna hitam di
kepalanya, ia tidak duduk seperti yang lainnya, melainkan hanya duduk jongkok
dan sesekali memutar topinya bila terik matahari kembali mengenainya.
Akhirnya aku dan beberapa teman aku mendaftarkan diri di
ekstrakurikuler marching band, dan ini adalah pengalaman baru bagi kami semua.
Keesokan
nya aku menjalani hari-hari sebagai siswa Madrasah Aliyah Al-Ikhlas, di samping
itu juga pemilihan ketua osis dan susunan anggota baru akan diadakan di
sekolahku.
“Teeeeeeeeeeeeeettt”
Bel istirahat untuk Aliyah berbunyi.
Semua
anak-anak keluar kelas, dari yang jajan hingga hanya mejeng juga ada, tapi beda
hal sama diriku. Aku lagi tertarik dengan buku kecil punya temanku yang baru saja
aku pinjam untuk dibaca. Di buku itu setiap tulisannya berbahasa Arab, itu yang
buat aku penasaran untuk membacanya.
Pada
saat itu juga pintu kelas lagi tidak ditutup. Pintu yang hampir semuanya kaca
pasti mudah bila melihat kedalam kelas bila ditutup juga.
“Lagi baca apa ki?”
Tanya Pak Umar yang melihat aku dari luar sambil masuk kedalam kelas.
“Ini Pak buku punya
Shahril, ” jawabku.
“Bahasa Arab semua nih
tulisannya” timpal lagi Pak Umar.
Dari
hari itu juga hubungan aku dengan Pak Umar mulai membuka periode baru, yaitu
aku bisa dekat dengan beliau dan bukan jamannya lagi aku dipukul, dijewer, disuruh
push up berkali-kali bahkan di tendang. Kini masa itu sudah berubah, aku yang
sekarang adalah aku yang mencoba menghilangkan segala kelakuan buruk aku
sewaktu di MTs.
<><><>
Hari
pertama latihan tentu buat aku bingung harus memegang alat yang mana, kebetulan
ada bas yang nganggur, ya itu alat pertama yang aku jajal pas latihan perdana
di ekskul marching.
Sekolah aku juga punya lahan yang cukup luas karena dari
jenjang TK sampai SMA (Aliyah) dan Ponpes juga ada disini, jadi tidak perlu
bingung untuk mencari tempat latihan, karena pasti ada tempat.
Di saat latihan perdana di ekskul marching ada beberapa
kakak senior yang mengawas jalannya latihan, salah satunya Ka Dwi. cantik,
manis tapi lumayan galak kalo lagi saat serius. Tidak begitu dengan yang satunya,
dia tampak sangat bersahabat dengan adik kelas yang lain, salah seorang kakak
kelas yang aku masih belum tau siapa namanya. Mungkin akan ada hari dimana aku
bisa mengenalnya.
Kenal dengan banyak kakak kelas punya keuntungan
tersendiri bagiku , bisa terpilih sebagai anggota osis adalah langkah awal bagi
aku untuk memperbaiki terus kehidupanku. Semua anggota dan ketua osis periode
yang baru dikumpulkan di dalam satu kelas. Entah keberuntungan atau apa, diantara sekian
siswa dan siswi yang aku lihat, aku melihat seseorang yang rasanya tidak asing
lagi di penglihatanku. Ya dia kakak kelas dan teman satu tim di marching.
<><><>
Hampir
sebulan aku berada di tim marching, di latihan sore hari ini ada sesuatu yang
berbeda dari hari-hari sebelumnya. Ada satu orang yang jadi pusat perhatian aku
selama latihan, dia kakak kelas. Pemain mayoret di tim inti marching di
sekolah. Awalnya aku kira dia kelas tiga Aliyah, dua tingkat diatas ku. Kabar
baiknya dia masih kelas dua Aliyah, hanya terpaut satu tingkat. Semakin lama
aku juga semakin akrab dengan seluruh personel di ekskul marching. Belum genap
sebulan aku dan beberapa teman akhirnya masuk tim inti, hanya saja kali ini aku
di senar bukan bas yang sudah aku pelajari dari awal.
Hari demi hari aku mulai dekat dengan kakak kelas tersebut.
Namanya Vika Ariani Armelia, anaknya mungil dan mudah bergaul juga. Satu hal
yang membuat aku tertarik adalah dia mempunyai aura yang tidak dimiliki oleh
yang lain. Setelah latihan usai, aku beristirahat di dalam kelas yang sudah
tidak ada kegiatan mengajar lagi. Di saat aku tengah duduk, Kak Vika datang ke
arahku dengan mata yang tersenyum. Dan ikut beristirahat tidak jauh dari tempat
ku duduk. Akhirnya kami duduk berseberangan.
“Kakak mondok ya?” aku
mulai membuka pembicaraan.
“Iya mondok emang
kenapa Rizky??” jawabnya sambil penasaran.
“Enggak kenapa-kenapa
kak, nanya aja,” dengan perasaan yang sedikit malu dan sambil menggarukan
kepala.
“Yahh kirain ada apa,
kenapa kamu penasaran ya?”
“Lah enggak sama
sekali..,” aku berusaha menyembunyikan perasaan malu ku dengan menjawabnya
sambil tertawa.
Di
sore itu aku semakin yakin dengan perasaanku, di tambah sejak putus dengan
pacarku dari kelas dua MTs aku sudah vakum di dunia percintaan.
<><><>
“Teeeeeeeeeettt….,
“
“Aaaaahhh
akhirnya istirahat juga” gumam salah seorang teman laki-laki ku.
Dengan
kompak aku dan hampir semua anak laki-laki keluar kelas, tapi bukan hanya
keluar kelas, keluar lingkungan sekolah juga. Sekolah yang terletak diantara
banyak rumah penduduk jadi hal yang mudah bagi murid-murid yang akan keluar
lingkungan yayasan, yang penting sudah kenal akrab dengan satpam penjaga
gerbang di depan yayasan itu sudah cukup.
Seperti
biasa aku dan anak-anak pergi ke warung makan yang letaknya cukup jauh dari
sekolah, tidak jarang juga aku terlambat kembali ke kelas. Disana dari yang
masih MTs kelas satu hingga Aliyah kelas tiga semua ada, tujuannya satu yaitu
ngerokok.
“Wooi ada yang mau
nitip beli rokok nggak?” Tanya salah seorang adik kelas ku,
“Yaudah beli nih
sebungkus ” jawab temanku,
Kami semua memang
terkadang juga suka patungan untuk membeli sebatang rokok, nongkrong dengan
banyak teman dan menghisap rokok sambil minum kopi jadi kegiatan rutin sewaktu
di MTs sampai aku di Aliyah, Tapi semua itu berubah pada saat hidupku terisi
dengan kakak kelas itu.
<><><>
Songket
merah
Hari yang aku
tunggu-tunggu akhirnya tiba juga, nomor handphone salah seorang kakak kelas
sudah ada di tangan. Itu semua aku dapat ketika meminta nomor handphone nya ke
salah satu teman kakak kelas perempuan, tidak sulit karena aku sudah akrab
dengannya. Kamis sore tim marching kami
mendapat kabar yang cukup menggembirakan, mengapa tidak, kami diundang untuk
tampil di sebuah acara dengan imbalan yang tidak sedikit juga.
“Kita hanya mempunyai
waktu semingggu, jadi setiap sore kita harus latihan!” ucap Kak Mahmud, salah
seorang alumni sekolah kami, dia memang sudah lama lulus, tapi kecintaannya
pada sekolah membuat dia mengabdi di sekolah kami sembari mengajar pramuka,
futsal, dan juga marching.
Di sore itu juga porsi
latihan jadi lebih berat. Kami semua harus tetap latihan meski kegiatan sekolah
telah usai. Tetapi ini menjadi moment yang sangat jarang kami dapat, kami semua
bisa lebih mengenal satu sama lain, ditambah lagi kami semua memang baru
sama-sama saling mengenal.
“Rizky, kakak pinjam hp
nya dong,” ucap Kak Vika,
“Ouh emang buat apa kak?”
jawabku,
“Buat ngehubungin mamah
dirumah,” jawabnya memelas,
“Yaudah tapi jangan
kelamaan,” Jawabku, tapi dengan nada galak yang aku buat-buat.
Di setiap sore saat aku latihan, mengobrol dengan Kak
Vika menjadi kebiasaan yang mulai aku jalani. Awalnya masih kaku tapi semakin
hari kami berdua semakin akrab, bahkan dia sudah mulai memanggil aku dengan
sebutan ade. Bulan puasa juga sudah tinggal beberapa bulan lagi, ini cukup baik
karena dengan begitu aku bisa kontekan terus dengan Kak Vika berhubung anak
pondok pesantren pulang kerumah, walaupun hanya beberapa hari.
Hari yang ditunggu-tunggu anak marching akhirnya tiba,
aku dan anak-anak tim inti harus datang pagi-pagi demi mengejar waktu untuk
persiapan dan prepare lainnnya. Langit masih gelap, tetapi aku sudah pergi ke
warung untuk membeli dua bungkus nasi uduk. Yang satu untuk bapak dan satunya
lagi aku. Setelah selesai sarapan aku pamit dan berangkat menuju sekolah. Letak
sekolah yang cukup jauh memang menjadi salah satu kendala, ditambah aku hanya
berjalan kaki untuk kesekolah. Tetapi aku sangat menikmati setiap tempat yang
aku lewati saat kesekolah. Ada sebuah pohon besar dipinggir jalan yang selalu
aku lalui saat kesekolah, kali ini ada yang berbeda dari sebelumnya, pohon
besar itu berbunga dengan warna merah cerah. Ditambah lagi letak jalan itu
berada persis disamping sungai. Ada sebuah sungai besar yang aku lalui sebelum
kesekolah, dikedua sisi sungai tersebut terdapat jalan yang biasa dilalui
sepeda motor dan pejalan kaki. Tetapi akhir-akhir ini sering ada mobil dan
angkutan umum yang lewat, karena macet dijalan utama yang menyebabkan mereka
harus melalui jalan alternatif. Setelah melakukan perjalanan kurang lebih dua
puluh menit akhirnya aku tiba di sekolah. Gerbang utama masih ditutup rapat.
Karena ini merupakan hari minggu jadi tidak ada kegiatan belajar mengajar pada
hari ini. Dari kejauhan beberapa anak terlihat di depan kelas, akupun mulai
mendatangi mereka.
“Kesini kita pake
songket,!” teriak Kak Fera salah seorang pemain mayoret,
“HHhhhhhhhh” Ali yang
masih menguap di depan kelas masih mengeluhkan paginya waktu persiapan.
Aku
mulai mengenakan kain songket kebesaran tim marching sekolah kami, tampil
dengan penampilan yang sebaik mungkin sudah barang tentu harus dilakukan oleh
semua anak. Saat itu juga aku melihat seorang perempuan yang sedang sibuk dengan
jarum pentolnya, ya dia Kak Vika. Semua sibuk dengan penampilan nya
masing-masing.
“Gimana mobilnya udah
datang belum?” suara Pak Karmin, seorang guru TU yang kali ini mengetuai tim
marching.
“Masih belum pak, tapi
jangan sampai terlalu siang juga datang nya,” jawab Kak Mahmud yang juga sudah
siap dengan kain songketnya.
Tidak lama berselang
mobilpun datang, yang pertama ialah mobil untuk mengangkut alat-alat marching
kami. Kami semua menaikkan alat-alat yang akan dipakai untuk acara marching
nantinya. Mobil selanjutnya tiba di sekolah, jam sudah menunjukkan pukul 07.02
wib, kami harus lebih cepat lagi tiba di acara yang dimulai jam delapan pagi.
“Semua anak sudah
masuk?” Tanya Pak Karmin dari luar mobil,
“Udah semua kok pak,”
jawab anak-anak serempak.
Tampil
perdana di depan banyak orang jadi satu hal yang buat aku sempat grogi, tapi
untunglah perasaan itu hanya ada ketika aku sedang di mobil. Semua anak-anak
turun dari mobil dan langsung mengambil alatnya
masing-masing, tidak ada ketegangan sedikitpun di semua raut wajah
mereka. Yang ada hanya keceriaan dan rasa bahagia bisa tampil bukan hanya untuk
sekolah, tapi untuk institusi lain yang membutuhkan. Hari ini adalah peringatan
Maulid Nabi Muhammad SAW, yang diadakan oleh salah satu DKM Masjid dan Yayasan
sekolah. Pagi itu semuanya berjalan lancar, rasa letih dan lelah sudah pasti
kami semua rasakan. Aku,Syatibi dan teman-teman yang lain duduk di tempat
acara, melihat acara-acara selanjutnya yang akan ditampilkan.
“Ayo semua kesini, kita makan” teriak Shahril
dari depan rumah ketua DKM dengan beberapa nasi bungkus di tangannya.
“Sisain aku satu
din..!” jawab Ali yang juga ada di dekat aku.
“Ayo-ayo kita
makaan..!” teriakan Kak Mahmud yang membuat semua anak langsung bersemangat
mengambil nasi bungkusnya masing-masing. Jam sudah menunjukkan pukul dua siang,
saatnya kami semua kembali ke sekolah dan pulang kerumah. Sebuah pengalaman
hidup baru yang kan aku jalani kedepannya.
<><><>
Secarik
kertas
Dua
minggu setelah tampil di acara Maulid Nabi, kondisi fisikku juga mulai menurun.
Akibatnya, aku tidak masuk sekolah sehari. Karena takut ketinggalan pelajaran,
keesokannya aku mulai masuk meski dalam kondisi yang masih belum terlalu fit.
“Rizky ini ada surat ,”
sontak aku mulai kaget ,
“Dari siapa ndah?”
Tanya aku pada endah, teman perempuan satu kelas yang juga anak pesantren.
“Udah dibaca aja dulu,
entar juga tau..” jawabnya dengan nada yang mulai meledek.
Seumur
hidup baru kali ini ada yang ngirim surat, di jaman yang sudah ada handphone
kenapa harus kirim surat, pikir aku dalam hati. Kertas yang ukurannya tidak
terlalu besar itu mulai aku buka dengan perasaan yang semakin penasaran.
Kamu
kenapa kemarin enggak masuk? Kamu lagi sakit?
Oh
iya, aku boleh pinjam hp kamu sebentar nggak?
Aku
mau tlp mamah, nanti istirahat kedua aku kembaliin lagi
Vika
Ariani
<><><>
Meletusnya
gunung Merapi di Jogjakarta, membuat banyak kerusakan dan kerugian baik secara
material maupun non material. Kejadian itu membuat banyak relawan berdatangan
untuk membantu warga sekitar yang terkena musibah.
Seluruh
anggota osis melakukan aksi sumbangan dana peduli merapi yang dilaksanakan
setiap selesai kegiatan sekolah. Sekolah kami pulang jam 14.45 WIB, setelah
semua selesai shalat ashar, saatnya kami semua berkumpul dilapangan untuk
mendengarkan arahan dari kepala sekolah kami.
“Setiap anak dibuat kelompok, satu
kelompok terdiri dari 7 siswa, masing-masing dari kalian membawa satu kardus
untuk meminta sumbangan kepada warga, buat proposal dan minta ijin ke pemda!”
perintah kepala sekolah kepada seluruh anggota osis di sore itu. Esok nya
setelah semua kegiatan pembelajaran usai, kami melakukan rapat persiapan untuk
memulai kegiatan amal ini. Di dalam ruang rapat tampak seorang kakak kelas
laki-laki yang sedang meledek kepada Kak Vika,
”Haha,, lu cemburu ya
ki?” Tanya Syatibi yang sedang duduk sebangku denganku di ruang rapat, sambil
ketawa dia terus meledek diriku dengan kata itu.
“Aaahh diem lu bi, dia
juga bukan siapa-siapa gua,” jawabku, walupun aku sendiri masih penasaran apa Kak
Vika punya seorang pacar tau tidak.
Hari penggalangan danapun akhirnya dimulai,semua
partisipan dikumpulkan dilapangan dan diberi kotak kardusnya masing-masing,
disetiap kardus diberikan tulisan “Peduli
Merapi” di bagian depan. sore ini
aku dan beberapa teman akan meminta sumbangan di sekitar perumahan depsos, ada
sekitar 7 anak yang terdiri dari 3 siswa dan 4 siswi. Diantara keempat siswi
tersebut, ada satu orang yang jadi perhatianku. Dia adalah Kak Pasiha Al Fana,
yang merupakan sahabat dan teman satu kelasnya Kak Vika. Pada saat ini hubungan
ku dengan Kak Vika memang hanya sebatas kakak dan adik kelas, disamping aku
selalu di panggil “adik” olehnya. Tapi dalam benakku, aku tidak ingin hanya
sekedar adik. Ada harapan besar yang aku inginkan darinya.
Untuk menuju perumahan tersebut, kami semua berjalan kaki
kurang lebih 2,5 km dengan melewati jalan raya dan pesawahan, di perjalanan
kami dapat bercanda satu sama lain. Saat tiba di pesawahan semua menjadi sangat
sejuk, semilir angin yang tidak terlalu kencang dan hijaunya padi yang
bergoyang karena tertiup angin menjadi suatu pemandangan yang kami nikmati saat
ini. Di tambah lagi udara di sore hari yang secara tidak sadar membuat
keletihan diantara kami pun menghilang.
Setelah beberapa menit diperjalanan, akhirnya kami tiba
diperumahan tersebut. Semua sudah tidak sama lagi dengan yang kami rasakan saat
di pesawahan. Ramai nya para penduduk dan hiruk pikuk perumahan harus kami
hadapi sore ini.
“Gimana nih kita mencar berapa-berapa?” Tanya Rifani yang
merupakan teman satu seksi di osis dan juga satu kelompok di penggalangan dana.
“Yaudah kita mencar semua aja, setiap gang satu orang,
nanti kita kumpul di ujung perumahan gimana?” celoteh Kak Windi.
“Ya boleh juga kalo gitu, yaudah kita mulai mencar dari
sekarang,” timpal Rifani dengan membawa kotak kardus di tangannya.
Setelah percakapan Rifani dengan Kak Windi, kami semua
berpencar dan mendatangi setiap rumah, warung, toko-toko dan setiap orang yang
kami jumpai. Belum terlalu jauh berjalan kaki, aku melihat ada sebuah warung
dideretan rumah-rumah, dan warung itu terletak di depan muka gang.
“Permisi
bu….sumbangannya untuk merapi..” ucapku dengan nada yang ku buat selembut
mungkin.
“Ouh
iya tunggu sebentar ya dek,” jawab ibu itu sambil masuk kedalam rumah untuk
mengambilkan uang sumbangannya,
“Ini
dek…” sambil senyum ibu itu menaruhkan uang nya di kardus yang kubawa.
“Terima
kasih ya bu..” jawabku dengan membalas senyum nya.
Saat
matahari sudah hampir terbenam, dan tubuh kami semua sudah terasa sangat lelah.
Anak-anak berkumpul di ujung perumahan seperti yang sudah di janjikan
sebelumnya. Kami semua menggabungkan uang yang kami dapat dari hasil
masing-masing dan selanjutnya dibawa ke sekolah untuk disetorkan kepada yang bertugas
sebagai bendahara acara. Sebelum kembali kesekolah kami semua memutuskan untuk
membeli air mineral terlebih dahulu, semuanya terduduk lemas di depan toko yang
kami datangi, keringat yang mengucur dan keletihan yang ada di kami semua kini
berubah menjadi keceriaan tersendiri bagi teman-teman. Kami dapat tertawa
bersama dan menceritakan pengalaman baru nya masing-masing pada saat mencari
sumbangan. Ada saja cerita lucu yang mereka dapat di sore ini. Aku dengan
pengalaman yang terbilang cukup baru, tentu merasa cukup bangga bisa membantu
saudara kami yang sedang terkena musibah
disana.
Setelah
beristirahat, kami melanjutkan perjalanan kembali menuju sekolah, saat tiba di
pesawahan, terbenamnya matahari di ufuk barat kini menjadi pemandangan indah
yang tersaji di hadapan kami.
<><><>
Hari ini, ada sesuatu yang membuat aku tidak bisa ikut
penggalangan dana. Ketika saat bermain futsal di jam istirahat, kaki kiri ku
terpelintir dan membengkak. Akhirnya aku tidak ikut rombongan anak-anak. Karena
kaki ku yang tidak memungkinkan untuk banyak berjalan, aku hanya berdiam
disekolah menunggu semua kelompok kembali ke sekolah, disekolah aku tidak sendirian, karena
memang ada yang bertugas untuk tetap di sekolah. Sembari sesekali memantau
setiap kelompok di daerah yang mereka datangi masing-masing.
“Ki, kita bawa minuman
buat anak-anak yuk?” Tanya Kak Rama kepadaku yang sedang duduk di koridor
sekolah dan tidak jauh dari tempar parkir motor.
“Wah..boleh kita
kemana?” Tanya ku, dan berharap semoga bisa ke salah satu kelompok Kak Vika.
“Kita ke anak-anak
kelompok enam yang berangkat ke Kali Jeruk,” jawab rama sambil mulai menyalakan
mesin motornya dengan membawa satu dus air mineral.
“Yaudah deh aku ikut,”
Aku
dan Kak Rama pergi menuju kampung Kali Jeruk yang letaknya jauh dari sekolah,
hari ini berbeda dengan hari-hari penggalangan dana sebelumnya, karena desa dan
perumahan di dekat sekolah sudah di datangi semua. Maka hari ini anak-anak
ditugaskan untuk pergi ke daerah yang letaknya cukup jauh dari sekolah.
Harapan
yang hanya ada di benak kini menjadi kenyataan, kelompok yang didatangi oleh
aku dan Kak Rama adalah kelompok Kak Vika. Sesampainya di Kali Jeruk, aku tidak
langsung bertemu dengan Kak Vika, kepalaku berputar ke kanan dan ke kiri hanya
untuk mencari seseorang yang aku cari. Begitu juga dengan Kak Rama, kelompok
enam yang dicari ternyata masih belum sampai di Kali Jeruk. Dengan
memberhentikan motor di pinggir jalan kami berdua sibuk memperhatikan angkutan
umum yang turun tidak jauh dari posisi kami berada. Selang beberapa menit,
sekumpulan anak sekolah dengan menggunakan baju batik berwarna hijau gelap
turun dari angkutan umum di seberang jalan. Benar dugaan kami berdua bahwa
mereka pasti masih di perjalanan.
Satu
minggu berselang, kegiatan penggalangan dana akhirnya selesai. Saat nya
menyalurkan dana yang sudah terkumpul kepada korban bencana, kami semua merasa
sangat senang dengan apa yang telah kami lakukan selama sepekan lalu, dan hal
itu juga yang aku rasakan.
<><><>
Hari-hari
berikutnya aku mendapat sms dari Kak Vika, entah ia tahu dari mana nomor
handphone ku, tapi yang jelas aku sudah tahu kalau nomor yang mengirim pesan
itu adalah Kak Vika, karena aku lebih dulu mendapat nomornya. Aku berjalan
menuju ke ruang tamu. Lalu duduk sambil menyandarkan kepalaku, aku menghela
nafas dengan sesekali kulirikan mataku kearah handphone yang sedang ku pegang,
tidak perlu menunggu waktu lama akupun menekan tombol panggilan untuk menelpon
Kak Vika. Cukup lama sebelum akhirnya telfon ku diangkat olehnya,saat di telfon
aku seperti sudah benar-benar akrab dengannya. Sampai akhirnya tiba dimana aku
menanyakan langsung kepadanya tentang status nya. Aku tersenyum lebar saat dia
mengutarakan bahwa dia masih belum punya pacar untuk saat ini. Suaranya yang
memang sedikit bawel membuat kami berdua tidak bosan-bosanya mengobrol di
telfon.
<><><>
Aku
sangat menikmati dimana aku bisa tertawa dengan semua anggota keluarga di malam
hari. Kami semua sedang menyaksikan pertandingan AFF Suzuki Cup antara
Indonesia dengan Filiphina. Tampak jelas ayahku sangat menikmati jalannya
pertandingan, bahkan cemilan yang sedang di makannya langsung habis begitu
saja. Ibuku juga tidak mau kalah serunya dengan yang lain, bila ada peluang
yang gagal, ia tidak segan-segan mengeluarkan suara kencangnya untuk berteriak.
“Christian
Gonzales membawa bola.., tendangan dari Christian Gonzales daaaan gooooool…!!!”
teriak
salah seorang komentator bola dengan girangnya.
“Hoooooreeeee….,” mendadak
rumah yang hanya berisikan enam orang termasuk nenek dan kedua adik laki-laki
ku menjadi seperti Gelora Bung Karno yang dimana bunyi gemuruh bisa terdengar
dimana-dimana.
Saat semua anggota keluarga sedang bergembira dengan
kemenangan timnas Indonesia, handphone ku bergetar yang ternyata pesan dari Kak
Vika, aku menoleh kearah jam dinding di ruang tv dan kembali melihat kearah
pesan tersebut, aku menarik nafas saat aku sadar bahwa pesan di handphone ku
sudah dari setengah jam yang lalu, aku memang tidak terlalu memperhatikan
handphone ku saat sedang menonoton tadi. Dahiku mengkerut saat aku mulai
membaca isi pesannya, rupanya aku diminta untuk membelikannya kabel rolan untuk
kamar pondoknya. Karena kabel yang ada sedang rusak dan ia tidak mungkin bisa
keluar pondok di malam hari tanpa izin yang jelas. Dengan terburu-buru aku
menyiapkan motor untuk pergi membeli kabel rolan. Setibanya ditempat penjual
elektronik, aku sempat bingung kabel rolan seperti apa yang dibutuhkannya,
karena ada berbagai macam jenis kabel rolan ditempat itu. Aku mengirim sms ke
Kak Vika untuk menanyakan nya dan untunglah ia masih sempat membalasnya.
Setelah kabel rolan telah terbeli aku menuju ke sekolah meskipun dengan
perasaan yang cemas dan ragu, aku harus bilang seperti apa bila aku ketahuan
masuk ke pondok putri malam-malam seperti ini. Pikiran itu terus terbayang di
dalam otakku selama aku mengendarai motor menuju sekolah. Dinginnya udara malam
membuat perasaan itu semakin menjadi-jadi dalam benakku.
Bangunan besar itu terlihat cukup gelap dengan hanya ada
beberapa lampu yang meneranginya, aku telah sampai di depan gerbang sekolah.
Dengan perlahan aku mengambil handphone ku di saku dan menekan tombol panggilan
untuk mengabari Kak Vika bahwa aku telah sampai. Lima belas menit sudah aku
berdiri di depan gerbang sekolah dengan tangan yang terus mengarahkan ponselku
ke telinga dan telfon ku tidak juga diangkat olehnya. Perasaan cemas itu kini
berbaur dengan rasa kesal ku olehnya, aku menelfon beberapa nomor temannya dan
tidak juga ada yang mengangkat, sampai akhirnya aku bertemu dengan satpam
sekolah yang sedang berjaga malam. Untung saja aku sudah akrab dengannya, jadi
aku merasa cukup lega.
“Bisa tolong kasihin
ini mang ke anak pondok putri, Vika ” ucapku sambil tersenyum untuk menutupi
rasa takutku karena telah ketahuan.
“Ouh, yaudah..,”
jawabnya dengan muka datar yang membuat rasa cemasku kembali muncul.
Aku langsung kembali
ketempat dimana motorku diparkir dan
Maaf
ya tadi aku lagi di mushala, semua anak putri juga lagi di mushala makanya
temanku enggak angkat telfon kamu, terima kasih udah mau bawain.
Awalnya aku masih kesal
dengan sikapnya yang tiba-tiba tidak mengangkat telfon, tetapi aku mulai lega
saat membaca sms darinya setelah satu jam aku telah kembali dirumah
<><><>
Banyak
yang sudah mengetahui kedekatan aku dengan Kak Vika, tetapi hanya sebatas
hubungan kakak dan adik. Disekolah aku jadi sering mendapat surat darinya,
terlebih saat aku bolos salah satu mata pelajaran dan lebih memilih ke
perpustakaan dengan teman-teman. Kami memang tidak terlalu suka dengan mata
pelajaran tersebut ditambah untuk beberapa minggu ini guru yang mengajar hanyalah
guru pengganti. Karena guru sebenarnya sedang mengambil cuti setelah baru saja
melahirkan. Setengah jam sudah aku dan ketiga teman laki-laki berada
diperpustakaan, saatnya kembali ke kelas karena pelajaran yang dihindari telah
usai.
“Dari mana aja lu
semua? Tadi ibu catat semua anak yang bolos pelajaran,” teriak salah satu teman
perempuanku dari dalam kelas. Sedang yang lain tidak terlalu memperdulikan
karena sudah hafal betul aku dan teman-temanku seperti apa. Hal seperti itu
hanya akan menambah masalah baru bagi mereka.
Aku mulai membuka buku
agenda yang berada di meja guru dan benar saja. Nama kami semua tertera di
agenda pelajaran hari ini.
“Gua minjem tive x
dong?” teriakku kepada semua anak.
“Wah wah mau dihapus
ya? jangan, jangan” teriak Anisa dengan berdiri dari tempat duduknya.
“Kok lu yang jadi
repot? ” bantahku.
“Salah sendiri bolos
pelajaran!” dengan cepat Anisa berlari ke meja guru dan berusaha merebut buku
agenda dari tanganku.
Beberapa teman ku
mencoba menghalangi Anisa tetapi tidak berhasil, aku yang merasa tidak begitu
memperdulikan catatan di agenda itu akhirnya aku berikan agenda itu kepada
Anisa, tingkah ku ini membuat Anisa hanya bisa menatap wajahku. Entah apa yang
ada di fikiran Anisa tetapi yang pasti tingkahku ini membuatnya menjadi seperti
patung yang baru saja selesai dibuat.
“Rizky ini ada surat,
kayaknya Kak Vika tau kamu bolos tadi, ”
Suara itu menghapus
lamunanku pada saat istirahat, seperti biasa Indah yang membawakan surat nya,
bagaimana Vika bisa tau kalau aku bolos jam pelajaran tadi, pasti ada anak yang
memberitahu dan firasat ku mengarah kepada Anisa. Anisa satu-satunya anak yang
paling tidak suka dengan aku dan teman-teman tadi pagi, itu semua bisa terlihat
dari sikapnya. Aku mulai membaca semua isi suratnya, dan benar saja Vika
mengetahui semuanya. Yang jadi pertanyaan dalam fikiranku siapa yang
memberitahunya.
Udara terasa semakin dingin, awan hitam terlihat jelas
dilangit bahkan menutupi setiap celah yang ada. Daun-daun kering berterbangan
di halaman sekolah, semua anak berlarian menuju kelasnya masing-masing karena
angin yang mulai tidak bersahabat. Hujan mulai turun dengan derasnya, genangan
air terlihat jelas dilapangan. Kini suasana sekolah yang ramai karena
siswa-siswinya berubah menjadi keriuhan suara air diluar. Aku kembali
memperhatikan isi surat itu, dan sesekali menatap ke Anisa. Apa mungkin Anisa
yang bilang seperti itu, di satu sisi Anisa adalah anak yang tidak terlalu suka
ikut campur urusan orang lain, tetapi hanya Anisa yang sewot kepada anak-anak
yang bolos.
“Kenapa diliaitin aja
Ki suratnya? Di bales lah,” ledek Shahril yang duduk sebangku denganku.
“Iya ada kertas
selembar enggak? Buat bales suratnya,”
“Ada nih, di belah dua
lagi aja kertasnya biar irit,” ledeknya lagi sambil mengambil kertas dibawah
kolong meja.
Hujan mulai semakin deras, surat balasan untuk Kak Vika
juga telah selesai. Walaupun pada saat aku menulis, sempat-sempatnya saja
Shahril melirik kearah tulisan ku pada saat membuatnya, yang semakin menambah
lama ku menulisnya. Aku menghampiri Indah yang pada saat itu sedang tertidur
pulas di bangkunya. Pada saat cuaca seperti ini biasanya para guru malas untuk
masuk ke kelas, karena jalan depan kelas pasti basah karena air hujan yang
menggenang di luar. Itu yang membuat Indah leluasa untuk tidur di dalam kelas.
“Ndah bangun, ini surat
balesan buat Kak Vika.” ucap ku sambil menyodorkan surat kearahnya.
“Alaaah ganggu orang
lagi tidur aja, iya entar disampein.” Jawabnya dengan tangan yang terus menutupi
wajahnya.
<><><>
Menikmati
pemandangan danau dan udara sore hari yang sejuk, adalah kebiasaan aku dan
teman-teman bila hari minggu tiba. Sore harinya kami semua berkumpul di salah
satu perumahan yang memiliki danau diujung perumahannya. Tepat disamping danau,
terdapat rel kereta api dan di sebelah rel kereta api tersebut, terbentang luas
pesawahan, padinya mulai menguning, dan burung-burung berterbangan diatasnya.
Anak-anak kecil berlarian di sekitaran danau, para remaja tidak ketinggalan
berduaan dengan pasangannya masing-masing. Semua itu dapat terlihat bila minggu
sore tiba. Aku dan teman-teman berkumpul disebuah warung tempat biasa kami
menongkrong. Di saat berkumpul, salah satu temanku membawa sebuah rokok arab
yang biasa disebut sisha, ia membelinya di sebuah daerah yang berada di Jakarta
Timur. Yang lainnya membawa kartu remi dan tidak lupa beberapa bungkus rokok.